Rabu, 01 Juli 2009


PENGHINAAN

Ki Kecubung Wulung Pitutur Jati

Baru saja ada seorang guru yang menceritakan kalau anak didiknya agak sulit diatur dan motivasi belajarnya rendah. Setelah ditelusuri oleh guru BP-nya sebenarnya siswa ini memiliki intelegensia yang cukup tinggi, walau hasil belajarnya jelek. Siswa underachiever seperti ini memang sering terjadi di semua sekolah. Bagi sekolah atau guru yang kurang jeli melihat hal seperti ini biasanya bukan menolong si siswa tapi malah akan memojokkan siswa sampai pada tarap yang tanpa disengaja menghancurkan masa depannya.

Namun guru yang satu ini agaknya lain dari yang lain, karena dia mampu menelusuri dan mengetahui bukan saja IQ-nya anak bermasalah ini tinggi, tapi juga mampu meraba kenapa anak ini tidak bisa mencapai nilai maksimal yang sebetulnya bisa dia dapatkan dengan mudah. Guru ini dengan sangat bangga bercerita bahwa dia sanggup mendeteksi penyebab siswanya tidak bisa belajar maksimal. ” Ternyata anak ini tidak bisa menerima dirinya sendiri” terangnya dengan bahasa yang agak berbau psikologis yang aku sebetulnya agak tidak paham. Guru ini menerangkn panjang pendek tentang siswanya yang tidak bisa menerima dirinya sendiri itu. Katanya siswa ini merasa gendut dan berwajah jelek, dia malu dengan keadaannya. Dia ingin sembunyi dari semua orang. Dia tidak PD( percaya diri) sehingga dia gerah berada dilingkungan teman temannya. Akibatnya siswa ini tidak bisa konsentrasi belajar dan bahkan tidak mau belajar sama sekali, terlebih lagi tanpa mengerti akibatnya temen temennya memanggil dia ”gendut”, maka makin hancurlah sisi psikologis anak ini. Sementara aku terbengong bengong tidak mengerti, ada banyak lagi hal yang bu guru ini sampaikan pada saya tentang siswanya tersebut yang semuanya tidak sepenuhnya aku pahami.

Hal dahyat yang tidak aku mengerti adalah kekuatan yang ada pada kata ”gendut” yang dilontarkan teman temannya pada siswa tersebut. Kata itu kalau ditulis, ya cuma pendek saja, dikatakanpun ringan saja. Tetapi ternyata daya rusaknya luar biasa. Kalau disimpulkan dari keterangan bu guru itu, kata itu mampu menghancurkan masa depan banyak orang. Bayangkan saja kalau siswanya bu guru itu benar gagal dalam hidup karena kata ”gendut” itu, bukankah anak keturunan dia juga ikut sengsara, begitu juga orang tua dan saudara saudaranya bisa saja ikut terciprat kesengsaraan akibat kegagalan siswa itu. Hal ini benar benar sebuah bencana bagi sekumpulan besar orang dan penyebabnya hanya kata ”gendut” tidak lebih. Dahsyat bukan?

Jauh jauh hari sebelum kita semua menyadari efek psiokologis dari kata ejekan seperti, ”gendut” dan lain sebaginya, Alqur’an telah memperingatkan kita tentang hal ini pada Surat Al Hujarat (49) Ayat 11 yang kira kira artinya:

Hai orang orang yang beriman, janganlah suatu kaum memperolok olokan (menghina) kaum yang lain, barangkali (kaum yang lain) itu lebih baik dari pada mereka; dan jangan pula wanita yang satu (memperolok) kaum wanita yang lain, karena boleh jadi (kaum wanita yang lain) itu lebih baik dari yang mengolok olokkan: dan jangan kamu mencela dirimu sendiri dan jangan panggil memanggil degan gelaran gelaran buruk. Seburuk beruk panggilan sesudah beriman ialah memanggil orang dengan fasik. Barang siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang yang zalim.

Menurut ayat Qur’an diatas, ternyata memanggil orang lain dengan panggilan buruk atau memperolok bukan hanya akan menjadi bencana bagi yang dipanggil atau diperolok tapi juga bahkan bisa mempermalukan yang mengolok olok. Kata Allah di ayat diatas, bisa jadi yang diperolok itu lebih baik dari yang memperolok. Dan itu benar bisa terjadi. Sekitar 20 tahun yang silam waktu aku masih di SMA, salah satu temen saya yang (maaf) giginya agak terlalu maju dari kebiasaan umum diperolok oleh temen yang lain dengan mengatakan ”untumu mronggos”. Dalam bahas Indonesia kata itu kurang lebih berarti ”gigimu tongos”. Kata itu diucapkan beberapa kali waktu itu untuk menjatuhkan mental si teman, namun yang perlu diketahui, kalau dilihat sebetulnya yang mengatakan ”untumu mrongos” ini giginya lebih maju lagi. Kala itu saya hanya bisa tersenyum agak sedikit geli.

Ternyata benar kata Qur’an, manusia itu seberapapun pintarnya tidak akan mampu mengenali diri, oleh karena itu jangan memperolok orang atau memangil orang dengan panggilan fasik, panggilan yang buruk, karena kita bisa saja lebih buruk dari yang kita perolok dan kita sama sekali tidak sadar. Bisa malu lah kita. Dan orang orang yang tidak mau bertobat, atau berhenti dari melakukan hal ini, oleh Al Qur’an disebut sebagi orang yang zalim. Tahu orang zalim itu seperti apa? Orang zalim adalah orang yang menyakiti dan menghancur orang lain. Orang yang seperti dicontohkan Ibu guru diatas.

PUSAT JAGAT RAYA


PUSAT JAGAT RAYA

Ki Kecubung Wulung Pitutur Jati

Manusia adalah makluk yang paling beruntung di muka bumi ini, bukan saja karena manusia diciptakan sebagai khalifatan lilalamin, namun juga dikarenakan manusia adalah satu satunya makluk yang mempunyai kemampuan melihat dirinya sendiri sebagai obyek dari dirinya sendiri yang subyek. Dengan demikian manusia mampu mempelajari diri sendiri dan mencari solusi terhadap segala permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan. Inilah alasan mengapa manusia selalu tergerak untuk menciptakan tehnologi yang semakin maju, karena manusia melihat dirinya dalam kekurangan, dalam masalah, dan manusia mencoba untuk menolong dirinya keluar dari maslah itu dengan penemuan-penemuan dan ciptaan ciptaannya. Binatang, tumbuhan, batu dan lain lainya tak bisa melihat diri sendiri sebagai objeknya sendiri yang subjek maka mereka tak bisa mengerti permasalahannya sendiri, sehingga penemuan dan penciptaan tehnologi merupakan hal yang tidak mungkin bagi mereka.

Dengan demikian sempurnakah manusia? Tidak juga. Kehebatan apapun yang dimiliki manusia tidak akan membawa manusia itu pada tataran sempurna, bahkan sebaliknya, kehebatannya itulah yang membawa ketidaksempurnaan. Kemampuan manusia untuk memisahkan diri sebagai subjek dan objek sekaligus ini selain membawa kelebihan bagi manusia, pun membawa kelemahan pada manusia. Karena manusia bisa melihat dirinya, maka manusia terkadang menjadikan diri sendiri seolah olah sebagai pusat jagat raya. Semua kejadian, semua masalah, semua penilaian akan dipulangkan dulu ke diri sendiri. Diri sendirilah yang menjadi ukuran. Orang yang tak sependirian dengannya akan dilihat sebagai berbeda, dan perbedaan itu adalah kebodohan bagi orang lain. Ukuran baik buruk, bagus tidak bagus pun dilihat dari kepantasan diri sendiri. Main pukul terhadap maling bagi seseorang mungkin hal yang biasa saja, toh yang dipukulin itu maling, orang yang membuat keonaran dan merugikan orang lain. Bagi orang ini yang tidak mau ikut nempeleng maling dianggapnya sebagai seorang pengecut. Tapi bagi yang tidak suka melihat maling dipukulin akan menilai orang yang suka main pukul sembarangan, meskipun pada seoarang pencuri sekalipun, adalah termasuk orang yang tidak tahu perikemanusiaan.

Pendapat subyektif seperti ini akan selalu berbeda. Perbedaan ini ditentukan oleh keinginan dan nafsu masing masing subyek. Semua subyek selalu menempatkan kepentingan dan hasrat serta kesenangan pribadi diatas segalanya. Kebenaran harus mencerminkan kepentingannya, kalau ada sesuatu yang tidak memuaskan nafsu dan keinginananya, tentu akan dianggap tidak benar. Setiap manusia memiliki banyak sekali alasan dan argumentasi untuk pembenaran pendapat, pendirian dan kepercayaannya. Masing masing orang mengangap dirinyalah pusat jagat raya, sehingga yang lain hanyalah pemain figuran di dunia ini dan mereka harus mengakomodir keinginannya. Dengan demikian jelas bahwa ada persaingan antar individu di dalam masyarakat kita, karena setiap individu cenderung hanya memuja diri dan keinginannya. Individu lain harus kalah, atau harus ambil kesempatn kedua saja. Setiap orang teriak, ”I am the center of the world and the rest of you are just my satelites”. Setiap orang dalam hatinya tersimpan nyanyian, “ akulah yang paling benar, aku yang paling pinter dan akulah yang paling punya hak atas ini dan itu, yang lain ikutin mauku saja”.

Dari ketidakmampuan mengendalikan perasaan menjadi pusat jagat raya inilah sebetulnya awal munculnya watak egois, dan itulah kenapa sigmund freud mengatakan bahwa dunia ini dipenuhi ego ego yang saling bersaing untuk menjadi yang paling unggul.

Ukuran ukuran subyektif ternyata selain sebagai berkah dan keunggulan manusia atas makluk makluk lain, juga sekaligus menjadi kelemahan bagi manusia. Karena terjadinya segala macam silang sengketa sampai terjadinya perang yang mengorbankan jutaan nyawa manusia sekalipun sebenarnya hanya berasal dari subyektifitas pribadi pribadi manusia yang saling dibenturkan satu sama yang lain. Seperti inilah hasil dari perasaan sebagai pusat jagat raya apabila dibiarkan liar dan dipakai secara kebablasan.

Disisi yang lain ada juga orang yang menggunakan perasaan menjadi pusat jagat raya ini secara negatif. Orang ini selalu melihat dirinya dalam bingkai kaca mata yang selalu negatif. Ada orang kumpul kumpul berbicara tentang sesuatu, karena saat dia lewat salah satu dari sekelompok orang ini melihat sekilas kearahnya, si orang ini merasa bahwa sekelompok orang itu pasti sedang “ngomongin” dirinya. Bawaannya curiga melulu sama orang lain. Hidup orang ini susah karena selalu curiga dan tidak percaya sama orng lain. Orang macam ini merasa seakan akan dunia ini hanya berisi dia seorang, sehingga pusat pandangan, pusat pembicaraan pasti hanya tentang dia. Kasihan sekali ya orang macam ini?

Ada juga sikap salah yang lain dalam memandang diri. Ada orang yang selalu berfikir bahwa dia itu termasuk gologan yang tidak beruntung, Dia beranggapan bahwa hanya dia yang selalu dapat masalah dan musibah, dan penderitaan. Oarng lain bagi mereka ” happy happy” saja. Dia pun yakin bahwa semua mata juga tertuju padanya untuk mentertawakan nasib buruknya. Orang ini selalu bersenandung ” kasihan deh gue”. ”Pity me, Pity me”. Akibatnya orang semacam ini akan merasa minder, rendah diri dan sebaginya.

Nah sekerang tinggal tergantung kita sendiri, mau kita apakan kemampuan subyektifitas kita ini. Kalau kita akan gunakan seperti penggunaan yang keliru diatas yah silahkan. Tanggung sendiri akibatnya. Toh sebetulnya orang memandang kita itu sama persis kita memandang orang lain. Masing masing kita pasti punya banyak kesibukan dan permasalahan sendiri. Pada masalah orang lain kita sebetulnya cuek bebek aja. Kalau toh kadang kita memberi bantuan atas permasalahan orang lain yah kita bantu hanya sekedarnya saja, Tidak sampai ikut berfikir yang sebenar benarnya mikir. Yah Cuma sekedar upacara sosial saja. Sekedar berempati saja, habis itu, kita akan tenggelam dengan permasalhan dan pekerjaan masing masing dan lupa. Oleh karena itu tidak usahlah kita selalu berfikir bahwa kita ini pusat jagat raya. Ada orang lain disekitar kita. Sama seperti kita, orang lain juga punya keperluan, punya masalah dan punya penderitaan. Kita saling mengerti saja. Mari kita gunakan dunia ini bersama sama, dan saling bantu. Jangan merasa paling, itu intinya.

Selasa, 30 Juni 2009


KEGAGALAN PENGAJARAN STRUKTUR BAHASA UNTUK MEMBUAT PESERTA DIDIK BERCAKAP BAHASA INGGRIS

Ki Kecubung Wulung Pitutur Jati

The failure of English teaching in our country is the thing that we cannot longer denied. Our national English curriculum has failed to reach its target. No one of our students can speak English, if they only rely on the English lessons they get from formal English class. They still have to take an English course to master this language. These all troubles are caused by the facts that our national English curriculums still heavily emphasize on teaching English sentence patterns.

English teachers teach nothing but English tenses and grammars, so students only know English formally, but they don’t understand how to speak English in informal ways. As we know approaching English in formal ways will be boring and uneasy, that is why English learners will never understand English at all for mostly we use any language informally.

In this writing, writer will try to give a guidance how to put a right approach to English teachings. We cannot afford formal approach to English teaching any more. We should put language learning in its natural ways. So Students can easily learn any foreign language, especially English easily.

A. Pendahuluan.

Dengan mengasumsikan bahwa pendapat Alvin Toffler tentang pembagian tiga zaman peradaban manusia itu benar, kita saat ini telah berada pada dataran peradaban yang ia sebut sebagai era informasi.Di zaman ini, informasi hampir bisa dikatakan adalah segala-galanya. Tak perlu heran kiranya kalau tehnologi informasi berkembang sangat cepat akhir-akhir ini. Perkembangan tehnologi informasi sudah bukan lagi dalam hitungan tahun atau bulan, bahkan perkembangan tehnologi informasi boleh dikatakan bergerak dalam hitungan hari. Jadi saat kita minum kopi setelah bangun tidur esok hari, sebetulnya diluar sana sudah menunggu sebuah penemuan baru di bidang tehnolgi yang perlu segera kita kuasai atau kita akan tertinggal oleh laju perkembangannya. Informasi dengan segala macam perangkat lunak dan kerasnya akan semakin mendapatkan tempat pada hamparan peredapan manusia dengan rencana dibukanya pasar bebas dan era kesejagadan di awal abad 21 sekarang ini. Di era kesejagadan, di mana bumi ini akan menjadi semacam desa dunia, informasi akan menjadi sangat mahal dan sangat penting bagi kelangsungan kehidupan. Bahasa, sebagai tehnologi yang paling dan sangat purba, juga akan sangat berperan besar dalam perputaran roda di seluruh aspek kehidupan di era informasi dan globalisasi mendatang. Tehnologi informasi sehebat apapun tak akan berharga lebih mahal dari seonggok rongsokan besi tua kalau tak ada kemampauan berbahasa yang mendukungnya. Mungkin kenyataan inilah yang mendorong Laird (1953) mengatakan “ Tiada kemanusiaan tanpa bahasa dan tiada peradaban tanpa bahasa tulis”. Ungkapan Laird itu menunjukkan betapa besar peran bahasa dalam peradaban dan kehidupan manusia dulu, sekarang dan yang akan datang.

Tidak bisa kita ingkari, di era kesejagadan tidak hanya pasar dan informasi yang akan bersifat mondial, tapi juga bahasa yang menjadi sarana komunikasi juga harus ada yang bersifat global. Bahasa Inggris yang telah lama menempatkan diri sebagai bahasa internasional berpeluang besar menjadi bahasa global yang akan menjembatani segala macam bentuk komunikasi dan informasi. Belum lagi kekuatan Amerika yang selama beberapa dasa warsa belakangan ini mampu mendominasi perekonomian dunia makin memperkuat kedudukan Bahasa Inggris sebagai Bahasa dunia di masa-masa mendatang(Brumfit,1992). Itu berarti setiap orang didunia ini yang menginginkan akses informasi global harus menguasai bahasa Inggris.

Arti penting penguasaan Bahasa inggris, belakangan ini juga sangat di rasakan oleh para pekerja dan para pencari kerja di negara kita. Di Indonesia sekarang, Bahasa Inggris sudah menjadi tuntutan bagi para pekerja yang menginginkan jabatan yang lebih tinggi, dan untuk para pencari kerja kemampuan berbahasa Inggris adalah juga suatu keharusan kalau benar ingin memasuki dunia kerja, sebab segala macam bisnis, segala macam ilmu pengetahuan dan juga tehnologi semua dikembangkan melalui Bahasa Inggris. Lagi pula kita tak bisa menutup mata kalau hubungan antar bangsa di dunia ini di akomodasikan dengan Bahasa Inggris

Sebetulnya Bangsa Indonesia telah lama mengantisipasi dan memahami betapa pentingnya bahasa Inggris. Hal ini bisa kita lihat dari usaha pemerintah dengan memasukkan Bahasa Inggris sebagai kurikulum wajib di sekolah menengah pertama sampai di perguruan tinggi sejak tiga puluhan tahun yang lalu. Bahkan akhir akhir ini Bahasa Inggris sudah dicobakan untuk diajarkan di sekolah dasar dan taman kanak-kanak.

Usaha pembelajaran Bahasa inggris yang telah kita lakukan lebih dari tiga puluh tahun ini nampaknya sia sia kalau tidak boleh dikatakan tidah berguna. Asumsi ini didasarkan pada kenyataan bahwa usaha pembelajaran Bahasa Inggris ini mengalami kegagalan. Buktinya tidak banyak sarjana kita yang bisa berbahasa Inggris, padahal mereka rata rata telah memepelajari Bahasa Inggris lebih dari tujuh tahun.

Dengan asumsi bahwa setiap usaha untuk belajar yang diikuti metode belajar yang baik akan meningkatkan kemampuan, maka ketidakberhasilan usaha pengembangan Bahasa Inggris di negara kita ini tentu disebabkan kesalahan metode pengajaran yang dipakai selama ini. Kalau kita cermati buku-buku pelajaran Bahasa Inggris yang kita pakai di sekolah sekolah menengah dan juga apa yang di ajarkan di perguruan perguruan tinggi - dan ini tentu saja telah sesuai dengan kurikulum yang berlaku - semua dititik beratkan pada pengajaran dan pembelajaran struktur bahasa yang berupa tenses dan grammmar. Artinya metode pengajaran Bahasa Inggris dengan penekanan penguasaan pada struktur bahasa telah menjadi prioritas sistim pengajaran yang utama di negara kita selama tiga puluh tahun terakhir ini.

B. Kegagalan Pengajaran Struktur Bahasa.

Manusia, sebagai makluk sosial memerlukan wadah dan sarana untuk mensosialisasikan diri. Lingkungan kekerabatan dan lingkungan kemasyarakatan mungkin cukup sebagai wadah bagi seorang anak manusia untuk mensosialisasikan diri. Akan tetapi wadah saja belumlah cukup untuk tujuan itu, untuk mensosialisasikan diri orang perlu sarana yang mampu mengakomodasikan proses sosialisasi tersebut. Untuk sarana ini manusia perlu bahasa. Hanya simbol simbol yang terekam dalam bahasa dan kemampuan menggunakan bahasa itulah yang akan mampu membawa manusia pada tingkatan sosialisai setinggi yang dia harapkan. Semakin tinggi kemampuan dan semakin tinggi pemahaman orang terhadap bahasa semakin tinggi pula kelas sosial yang akan dia dapatkan.

Mengingat arti pentingnya bahasa bagi kehidupan manusia, maka tak heran kalau sejak masih bayi manusia sudah diajar dan belajar berbahasa. Bahasa pertama yang yang didapat atau yang lazim disebut bahasa ibu ternyata akan sangat berpengaruh pada kemampuan berikutnya untuk belajar bahasa kedua, ketiga dan seterusnya. Pola pola struktural, pola pola fungsional dari bahasa ibu akan mempermudah atau sebaliknya akan menghambat penerimaan pada bahasa kedua. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa bahasa yang memiliki banyak kesamaan dengan bahasa ibu akan cenderung mudah dipelajari. sebagai contoh anak- anak kecil yang menjadikan Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu akan dengan mudah menyerap dan mempelajari Bahasa Indonesia di bangku sekolah. Seorang jawa yang lain akan mampu berbahasa Sunda setelah merantau ke Jakarta dan berkawan dengan seorang Sunda, meskipun, seperti yang kita ketahui, lingkungan Jakarta sama sekali tidak mendukung orang belajar berbahasa Sunda sebab semua orang berbahasa Indonesia disini. Tentu saja sebaliknya semakin banyak perbedaan antara bahasa target pembelajaran dengan bahasa pertama yang dikuasai pelajar akan semakin sulit bagi si-pelajar untuk menguasai bahasa sasaran.

Secara umum bisa dikatakan bahwa pengajaran dan pembelajaran bahasa bertujuan untuk membuat pelajar (learner) mampu berkomunikasi menggunakan bahasa target baik secara lisan maupun tulisan. Mengingat semakin banyak perbedaan bahasa target dengan bahasa ibu semakin sulit untuk mempelajarinya, banyak orang mencoba formula - formula pengajaran dan makin banyak metoda dan sistem pembelajaran bahasa yang ditemukan.

Pada prinsipnya semua orang yakin kalau pelajar (learner) sudah mampu menggunakan bentuk bentuk bahasa, kata-kata, serta ungkapan ungkapan dari bahasa terget dengan baik dan benar secara gramatikal dan mampu mengungkankan ide-idenya dengan menggunakan bahasa target secara alamiah dan apa adanya, itu berarti pelajar tersebut sudah menguasai bahasa sasaran tersebut. Bertitik tolak dari pendapat tersebut, maka pengajaran bahasa melalui pengajaran kaidah-kaidah tata bahasa menjadi kegemaran semua guru bahasa asing, utamanya guru Bahasa Inggris. Kegemaran mengajarkan struktur bahasa pada anak didik ternyata mendapatkan legitimasi, itu terbukti dengan maraknya penerbitan buku buku pelajaran Bahasa Inggris, yang sudah disesuaikan dengan kurikulum, yang penekanannya masih pada struktur bahasa.

Pembelajaran Bahasa Inggris melalui pengajaran struktur bahasanya sama sekali tidak tanpa masalah. Terlalu asyiknya sang guru mengajarka kaidah-kaidah struktural dari bahasa Inggris membuat mereka lupa bahwa mereka hanya mengajarkan bentuk bahasa dan mereka sama sekali tak pernah mengajarkan bagaimana menggunakan bahasa itu untuk bertutur kata. Yang pada akhirnya pengajaran bahasa Inggris yang sudah kita lakukan lebih dari tiga puluh tahun di Indonesia gagal total. Padahal yang terpenting dari pengajaran bahasa adalah kemampuan pelajar untuk menggunakan bahasa target dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Kenyataan bahwa sebetulnya bukan struktur bahasa yang diperlukan oleh pelajar tetapi bagaimana menggunakan bahasa tersebut pernah juga diutarakan oleh seorang pakar kebahasaan, Chomsky (1965), yang menyatakan :

It would not be at all surprisingly to find that normal language learning requires use of language in real life situation in some way”.

Pendapat yang hampir senada juga disampaikan seorang ahli kebahasaan berkebangsaan Amerika Serikat Bloomfield (1942). Bloomfield berpendapat bahwa pengetahuan tentang struktur bahasa sangat menolong sekali dalam pembelajan bahasa, tetapi pengetahuan ini tak akan ada gunanya bila pelajar bahasa tidak melatih bentuk bentuk bahasa tersebut berulangkali sehingga pelajar mampu membangun kalimat kalimat sebagai suatu kebiasaan tanpa harus berfikir dulu.

Kelemahan pengajaran struktur bahasa guna menciptakan pengguna bahasa yang baru adalah ketidak mampuan pengetahuan struktur bahasa untuk mengungkapkan bahwa setiap kalimat bisa mempunyai makna yang berbeda-beda pada setiap situasi yang berbeda dan pada kontek situasi sosial berbahasa yang tidak sama. Selain itu teori struktural bahasa juga tidak menyediakan pengetahuan bahwa setiap makna kebahasaan bisa diungkapkan dengan tindak bahasa yang berlainan. Dalam hal ini Gleason (1961) pernah mengatakan:

A grammar might be written to account for what people actually do say in probable situation, but this would not really be a grammar at all, but accomplete account of the environment and culture of the people.

Gleason disini lebih jauh mengungkapkan perlunya pemahaman budaya dari masyarakat pengguna bahasa sasaran untuk bisa benar menguasai bahasa yang dipelajari, selain dia juga mengakui bahwa situasi dan lingkungan di mana kita berbicara menentukan pola dan bentuk serta model ungkapan yang kita perlukan untuk bercakap yang mana ini semua tak akan mampu diterangkan dengan metode pengajaran struktur bahasa kepada para pelajar.

C. Kelemahan Pengajaran Struktur Bahasa.

Seperti yang telah kita pahami tujuan pengajaran bahasa adalah untuk membuat pelajar memahami bahasa target, dalam arti mampu mengartikulasikan pikiran dan angannya dalam bentuk ucapan maupun tulisan, dengan baik. Karena pikiran dan angan manusia secara simbolis sebetulnya tersimpan dalam makna bahasa, maka tugas utama pelajar bahasa sebetulnya adalah belajar menggunakan makna makna bahasa dan bukan struktur bahasa.walau perlu diakui tabpa pengetahuan struktur bahasa orang juga tak bisa mengungkapkan sebuah makna dengan baik.

Dalam mempelajari makna bahasa ini , setidaknya secara psikologis , seorang pelajar bahasa harus menguasai empat makna utama bahasa yaitu makna bahasa sebagai simbolisasi ungkapan tentang persepsi, perasaan, rasio, dan keinginan.(Nababan).

Peran persepsi dalam psikologi bahasa adalah untuk menuntun penutur bahasa dalam mengungkapkan pengetahuan atau ketidaktahuannya tentang sesuatu. Perasaan adalah media expresi tentang suka dan tidak suka. Sedangkan rasio akan memunculkan ungkapan tentang setuju atau tidak setuju dan keinginan adalah wahana ungkapan tentang mau dan tidak mau. Ke empat makna bahasa ini adalah dasar utama dari psikologi berbahasa, tanpa kemampuan mengungkapankan empat karakter dasar makna bahasa tersebut orang tidak akan mampu berbahasa dengan baik. Dan pemebelajaran bahasa adalah upaya untuk membuat pelajar mampu menangkap dan mengungkapkan keempat makna dasar bahasa tersebut.

Tugas berat mengajarkan empat makna dasar bahasa ini tentu saja tidak pernah tersentuh sama sekali dalam pengajaran struktur bahasa di dekolah sekolah. Dan inilah awal dari seluruh kegagalan pengajaran struktur bahasa untuk membuat peserta didik memahami bahasa sasaran.

Kelemahan lain dari pengajaran sruktur bahasa adalah ketidaksadaran para pengajar bahasa bahwa setiap kalimat sebetulnya memiliki dua struktur, seperti yang diungkapkan Chomsky dalam kecamannya terhadap golongan strukturalis. Menurut Chomsky setiap kalimat memilik struktur luar (surface structure) yaitu pola dan struktur lahiriah dari sebuah kalimat yang kedengaran dan bisa dilihat, selain itu ada struktur dalam (deep structure) yaitu bentuk kalimat yang mendasari timbulnya makna kalimat tersebut. Contoh klasik yang ditawarkan chomsky adalah:

(1) John is eager to please

(2) John is easy to please.

Meskipun kedua kalimat diatas memiliki struktur luar yang sama tetapi keduanya memiliki struktur dalam yang berbeda. Oleh karena itu makna dari kalimat itupun tidak bisa berada pada rel yang sama. Kalimat pertama artinya John ingin sekali menyenangkan (orang lain)” tapi kalimat yang kedua artinya “ John mudah untuk disenangkan (oleh orang lain)”, dan bukan berarti John mudah menyenangkan( orang lain)” seperti arti struktur kalimat pertama.

Kalimat yang memiliki makna ganda juga bisa menjelaskan bedanya antara struktur luar dan struktur dalam, misalnya:

My father asked me to stop working at noon” .

Kalimat ini memang memiliki satu struktur luar namun seseungguhnya memiliki dua struktur dalam. Karena kalimat itu bisa mendua arti. Pertama kalimat tersebut bisa diartikan “ Bapak meminta saya berhenti bekerja pada siang hari”, tapi bisa juga diartikan “ Bapak meminta saya menghentikan pekerjaan (yang dilakukan orang lain) di siang hari”. Oleh sebab para strukturalist hanya memperhatikan struktur luar, mereka tak bisa menjelaskan kalimat yang bermakna ganda atau pun yang memiliki struktur dalam yang berbeda. Ketidaktahuan ini dan ditambah kebingungan para pelajar ketika mendapati sebuah gagasan yang harus diungkapkan dengan struktur tertentu yang belum pernah dipelajari akan membuat pelajar kebingungan dalam berbahasa.

Dengan demikian pengajaran bahasa target termasuk juga pengajaran bahasa Inggris yang terfokus pada pengajaran struktur bahasa telah gagal membuat pelajar paham bahwa struktur bahasa yang sama dengan kalimat yang sama akan memiliki arti yang berbeda bila berada pada situasi dan kondisi percakapan yang berbeda seperti contoh diatas. Selain itu pengajaran struktur bahasa juga tidak mampu menginformasikan bahwa satu ide yang sama bisa diungkapkan dengan kalimat dan struktur bahasa yang berlainan. Sebagai contoh; kita bisa mengatakan “Do you understand?”, “Do you know what I mean?” atau “Have you got it? Dalam bahasa Inggris untuk menggantikan “Apakah kamu mengerti?” dalam bahasa Indonesia.

Atau kita bisa menjawab dengan, “it’s OK. Just go ahead”, It’s no matter, help yourself” atau It’s OK. Be my guest” untuk pertanyaan “ Boleh pinjam telfonnya?” yang oleh pengguna bahasa Indonesia hanya akan dijawab; “Boleh, silahkan!”

Yang Lebih naif dari itu semua, ternyata pengajaran struktur bahasa tidak menjamin peserta didik mampu membawa dirinya berfikir secara bahas inggris ketika mereka berbicara bahasa Inggris. Ada pengalaman pribadi yang pernah penulis alami. Waktu itu seorang teman penulis mencoba mempraktekkan Bahasa Inggrisnya kepada penulis dengan mengatakan; “ I buy a newspaper first, yes?” Tentu saja kalimat ini sangat menggelikan bagi pembicara Bahasa Inggris. Karena susunan kalimat seperti ini tak dikenal dalam Bahasa Inggris. Kalimat diatas sebetulnya kalimat Bahasa indonesia dengan kata kata Inggris, karena sebetulnya kawan ini mengatakan “ Saya beli Koran dulu, ya?

Sebuah candaan yang tenar di tahun 80an dimana orang mengatakan “ I do not know what what” untuk menggantikan “ saya tidak tahu apa apa” dalam Bahasa Inggris juga mengisyaratkan bahwa belajar bahasa asing memerlukan lebih dari sekedar pelajaran grammmar, dan struktur bahasa.

D. Kesimpulan.

Kegagalan pengajaran bahasa asing utamanya Bahasa Inggris merupakan akibat dari kesalahan persepsi kita tentang pelajaran bahasa. Selama ini kita memandang pengajaran bahasa itu sama saja dengan pengajaran ilmu ilmu lainnya. Kita tidak menyadari bahwa bahasa bukanlah sebuah ilmu tapi lebih dekat ke sebuah ketrampilan. Seperti layaknya sebuah ketrampilan, bahas tidak harus dipelajari secara text book dan teoritis tapi harus dengan cara di praktekkan. Dalam hal ini, menurut Austin dan Searle dua orang pakar bahasa yang mendukung teori tindak bahasa (Speech acts theory), ada tiga ketrampilan yang harus dikuasai seorang pelajar bahasa. Dalam berbahasa manusia sebetulnya melakukan tiga tindakan (acts) sekaligus, yaitu:

(1) tindak lokusi, yaitu bahwa pembicara menggambarkan suatu hal, misal ; “Bapak itu mengajar Bahasa Inggris” . dalam kalimat ini pembicara telah membagi kalimat menjadi tiga bagian, “Bapak Itu” adalah subjek kalimat, “mengajar” sebagi predikat dan “Bahasa Inggris” adalah Objeknya.

(2) tindak ilokusi, yaitu mengidentifikasikan kalimatnya sebagai suatu tindakan tertentu, misal: pernyataan, ajakan, suruhan, pertanyaan, tanggapan dan sebagainya. Contoh; “Saya lapar” adalah sebuah pernyataan, “ Ayo makan!” adalah ajakan, “ Makanlah yang banyak, jangan malu malu” adalah upaya menyuruh orang lain, “ Rendang ini bumbunya apa?” adalah tindakan bertanya, dan “ Mana aku tahu?” adalah sebuah tanggapan.

(3) Tindak perlokusi, adalah upaya memahami tanggapan lawan bicara terhadap kalimat yang diucapkan pembicara tergantung situasi dan kondisi saat kita bicara. Misal saja kta mengatakan “ Sudah jam sembilan”. Bagi kita yang menanyakan informasi tentang waktu tentu kalimat itu hanya sekedar pernyataan yang menggambarkan kenyataan. Tapi bagi seorang perjaka yang sedang apel ke rumah pacar kalimat itu bisa berarti “ Ini sudah malam tolong kamu pulang saja”, atau lebih kasarnya kalimat itu berari pengusiran secara halus.

Ketiga tindakan ini adalah ketrampilan yang harus di pelajari bagi pelajar bahasa asing, dan ketrampilan ini tak akan didapat hanya dengan belajar struktur bahasa. Dengan demikina bagi pengajar bahsa asing perlu memperhatikan ketiga ketrampilan itu dalam pembuatan SAP (Satuan Acara Pengajaran) maupun kurikulum pengajaranya.

Daftar Pustaka

Austin, J.L. How to Do Things with Words, New York, OUP 1962.

Bloomfield, Leonard, Outline Guide for The practical Study of Foreign languages, Baltimore,1992.

Brunfit, CJ, “ From Defining to Designing: Communicative Specifications Versus Communicatives Methodology in Foreign language teaching” dalam Muller (ed) The foreign language Syllabus and communicative Approaches to Teaching: Proceeding of a European-American Seminar. Special Issue of Studies in second Language Acquisation, 3(1): 1-9. 1980.

Chomsky, Naom, Syntatic Structure.: Mouton, The Haque, 1965.

Gleason,Jr, H.A. An Introduction to Descriptive Linguistics, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1955.

Laird, Charlton, The Miracle of Languages, Greenwich, Connecticut: Fawchet Publication, Inc. 1960.

Nababan, Sri Utari Subyakto, Psikoliguistik dan Pembelajaran Bahasa: Tinjauan Perspektif Ketrampilan Berbahasa, dalam Parameter: Aspek Aspek Bahasa, tahun XI.

Searle, John, Speech Acts: An Eassy in Philoshopy of language, Cambrige: CUP 1969.

MODERNITAS : TITIK AWAL MATINYA TEORI HOMO SOCIUS


MODERNITAS : TITIK AWAL MATINYA TEORI HOMO SOCIUS

Oleh : Ki Kecubung Wulung Pitutur Jati

Kalau kita mendengar kata modern, simpul simpul saraf di otak kita akan membentuk persepsi tentang sesuatu yang baru baik dari sudut pandang scientifik maupun tehnologis. Persepsi ini ini titak terlalu salah sebab secara etimologis modern memang memiliki arti leksikal yang kurang lebih sama, yaitu something that is related to the latest time. Jadi ada prasarat “kebaruan” dalam kata modern. Ironisnya prasarat yang di haruskan ada pada setiap kata modern menjadikan kata ini ambigu, karena yang baru itu akan menjadi lama juga pada akhirnya. Apakah ini bererati sesuatu itu akan menjadi tidak modern lagi lantaran sudah lama eksis di muka bumi ini? Ambiguitas dari makna kata ini membuat kata modern ini mudah sekali kehilangan esensinya dan pudar maknanya. Hal ini perlu kita ketengahkan agar kita semua memahami bahwa istilah modern yang ada pada tulisan ini tidak memiliki makna yang mati, tapi sebaliknya justru sedikit fleksibel dan lentur dalam penerapanya

Terlepas dari persoalan ambiguitas makna kata modern diatas, kita sendiri masih belum tahu sejak kapan sebetulnya kaum modernist ini mulai menghiasi langit langit peradaban manusia. Namun begitu , karna modernisasi selalu serupa dan sebangun dengan tehnologi tinggi (high tech) maka kita bisa merujuk Revolusi Industri di Inggris tahun 1789 sebagai starting point menggelindingnya bola salju modernisasi. Walaupun sebenarnya sesuatu yang dianggap modern di zaman itu tentu saja tidak akan dianggap modern di masa sekarang, namun kita tak bisa banyak berbuat kecuali harus menyebutnya modern juga. Disinilah sebetulnya letak ambiguitas kata ini.

Kalau kita telah sama sama sepakat bahwa modernisasi di mulai tahun 1789, berarti kita juga akan sama sama sepakat bahwa pada masa awalnya modernisasi merupakan upaya masyarakat Inggris untuk menggantikan tehnik-tehnik industri tradisional yang padat karya dengan tehnik-tehnik industri modern yang padat modal dengan dukungan penemuan-penemuan dibidang tehnologi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Itu artinya sejak awal bergulirnya, modernisasi memang sudah identik dengan mekanisasi industri dengan penerapam tehnologi maju. Hal inilah yang nantinya mendorong Syed Hussein Alatas men definisikan modernisasi sebagai “ the process by which modern scientific knowledge covering all aspects of human life is introduced at varying degree”.

Kini semakin jelas bagi kita bahwa modernisasi akan selau terkait erat dengan penerapan ilmu pengetahuan dan tehnilogi maju. Saat tehnologi muncul pertama sekali sebagai inti modernitas manusia, tehnologi menampakkan jati dirinya hanya sebagai alat obyektif yang terpisah dari manusia sebagai badan subjeknya. Saat itu tehnologi di kembangkan manusia sekedar sebagai alat bantu untuk menyesuaikan diri dengan alam lingkungan dan tuntutan zaman, dalam artian tehnologi dibutuhkan cuma sebagai alat untuk mempermudah kerja manusia dalam berhubungan dengan alam dimana tenaga manusia sudah tak mampu lagi melakukannya. Oleh karena itu dalam kerangka tehnologi sesungguhnya manusia, menurut Tofler dan Van Peursen, sedang menampilkan dirinya sendiri (eksteriorisasi). Menurut kedua ahli diatas ada tiga tahapan manusia menampakkan jati dirinya lewat tehnologi. Pertama tahap pengembangan tehnik, kedua tahap pengembangan mesin tenaga dan tahapan yang terakhir dari seluruh tahapan adalah tahapan pengembngan tehnologi informasi. Ketiga tahapan tersebut diatas sebetulnya bentuk pengejawantahan diri manusia dalam hal kerja otot manusia, kekuatan otot manusia dan yang terakhur adalah eksterioisasi dari fungsi fungsi otak manusia.

Eksteriorisasi diri manusia melalui tehnologi sebenarnya dapat dipahami sebagai refleksi ketamakan manusia. Kerakusan membuat manusia tidak mau yang sedikit dan juga tidak mau yang lama lama. Mereka pingin yang cepat dan banyak. Dengan menciptakan tehnologi manusia berharap bisa menjarah sumber daya alam (raw materials) dan mengkonsumsinya sebanayak mungkin. Dan industrialisasi yang berbasis tehnologi tersebut merupakan institusi legal bagi penguasaan dan eksploitasi alam secara besar-besaran. Hal ini juga diakui Martin Heidegger yang mengatakan bahwa tehnologi merupakan suatu keberadaan di muka bumi yang mencerminkan manusia yang tercekam dalam keinginan untuk memperbesar kekayaan serta kemudahan baginya terhadap alam dalam rangka eksistensinya.

Sejak awal ditemukan tehnologi modern, manusia makin gigih berinovasi maka tak mengherankan kalau tehnologi makin berkembang dan berbiak dengan cepat. Namun cukup disayangkan sejalan dengan perkembangan tehnologi, fungsi tehnologi pun makin tergeser. Pada awalnya tehnologi hanyalah sekedar alat bantu manusia, tehnologi adalah perpanjangan tangan manusia, tapi makin lama tehnologi telah makin bergerak menjadi sebuah lembaga yang mengexploitasi alam dengan cara yang amat sangat efektif dan efisien.

Di balik topeng tehnologi pandangan manusia terhadap alampun juga berubah, yang dulu alam dipandang sebagai sumber kehidupan, lebenwelt, lingkungan dimana mereka hidup dan manusia memiliki kwajiban untuk bersahabat dengan alam melalui hubungan yang sifatnya kwalitatif, lambat laun alam mulai dianggap komoditi yang bernilai komersil yang memerlukan pendekatan hubungan yang bersifat kwantitatif.

Pembiakan tehnologi dalam framework modernisasi ini sampai pada tahapan tertentu boleh dibilang masih aman dan ada hasilnya. Tapi kerakusan manusia yang didukung tehnologi dalam upaya eksploitasi alam semakin lama menjadi semakin tak terkendali. Mereka lupa bahwa manusia adalah bagian dari alam yang mereka sedang eksploitasi. Mereka tidak menyadari perusakan alam demi kekayaan berarti membahayakan diri sendiri. Mereka lupa selain menikmati kekayaan hasil jarahan dari alam mereka harus juga merasakan polusi, erosi, banjir, kebakaran hutan, rusaknya lapisan ozon, pemanasan global dan sederet lagi akibat buruk eksploitasi alam yang mereka lakukan. Di sini jelas terlihat bahwa tehnologi sebagai inti dari modernisasi telah berubah menjadi bumerang yang merobek leher manusia sendiri.

Bergesernya fungsi tehnologi dari sekedar alat menjadi sebuah lembaga eksploitasi alam membawa dampak yang tidak sedikit pada kemanusiaan. Tehnologi makin menjadi seolah barang hidup yang mampu berkembang biak dengan cepat. Seperti yang kita ketahui tehnologi selalu membutuhkan efisiensi dan efektifitas serta menekankan pada produktifitas yang tinggi. It berarti juga manusia yang menjalankan tehnologi harus juga efektif, efisien dan memiliki target produksi yang tinggi. Di dalam masyarakat tehnologis, harga kemanusiaan bukan lagi diukur dengan ukuran-ukuran kemanusiaan konvensional seperti dari etika, tata susila, moralitas, rasa, cipta dan karsanya, tetapi harga manusia terletak pada efektifitas, efisiensi dan outputnya dalam kerja. Untuk itu manusia dituntut untuk selalu mampu mengintegrasikan setiap penemuan tehnologi yang baru kedalam dirinya kalau tidak ingin ketinggalan dan terasing di tengah masyarakatnya sendiri. Di tengah masyarakat yang seperti ini manusia benar benar akan menjadi bagian yang mudah lapuk dan usang dari tehnologi (Jacob, 1988). Manusia di sini dituntut loyalitasnya terhadap tehnologi. Manusia harus jadi kacung yang baik dari tehnologi agar tehnologi sebagai tuannya mampu menghasilkan produk sebanyak mungkin. Kemudian kita akan menyaksikan manusia kehilangan esensi kemanusiaannya, manusia kehilangan jati dirinya (dehumanisasi).

Tehnologi yang makin tak terkendali bukan saja akan kehilangan esensinya sebagai peralatan tapi justru akan mengancam keselamatan dan eksistensi manusia. Tehnologi yang tadinya diharapkan mampu membawa manusia menuju kehidupan yang serba modern justru menjerumuskan manusia kejurang dehumanisasi yang dalam. Sekarang pun kita bisa melihat bahwa seluruh sikap, pola hidup, dan tingkah laku manusia telah seluruhnya diatur tehnologi. Orientasi kehidupan manusia pun sudah mengambil orientasi tehnologi yang cuma satu satunya, yaitu : hasil. Manusia sekarang harus target oriented untuk bisa bertahan hidup. Di otak manusia tidak boleh ada yang lain kecuali produktifitas yang tinggi. Dan pada akhirnya seluruh tatanan kehidupan manusia nanti akan diatur secara mekanistis. manusia akan jadi robot yang dikendalikan tehnologi.

Tehnologi juga menuntut fragmentasi yang menkotak kotakkan manusia pada dunia spesialisasi kerja dan profesionalisme. Makin tinggi tehnologi yang digunakan pada suatu kelompok masyarakat makin tersepesialisi juga manusia yang tinggal disana. Setiap spesialisasi pasti menutut kejelian serta konsentrasi dan itu artinya manusia hanya akan kenal dirinya sendiri. Dengan begitu bisa dipastikan dari sini nanti akan muncul suatu masyarakat yang egois dan individualis.

Setelah manusia terfragmentasikan kedalam kotak kotak spesialisasi dan manusia makin cuma kenal pada dirinya sendiri dan di otaknya hanya ada tiga kata: efektifitas, efisiensi dan produktifitas, maka manusia sudah praktis kehilangan kemanusiaannya. Manusia akan jadi barang rongsok kalau tidak menujukan produktifitas yang tinggi. Manusia akan semakin egois dan individualis. Pada tataran ini manusia telah benar tercerabut dari akar kemanusiaan. Kehidupan manusia makin terprogram secara mekanis. Dan kalau kita tidak hati hati dalam bertehnologi, dimasa depan kita akan menayakan keberadaan manusia sebagai sebagai makluk sosial.

Jadi suatu hari nanti kalau sidang pembaca melihat dua orang yang duduk berjajar di tempat duduk yang sama dalam waktu yang lama, di bus atau kereta misalnya, tapi mereka tidak saling tegur sapa, kita tidak perlu heran karena kalau tidak dua-duanya bisu, pasti mereka adalah dua manusia yang berasal dari masyarakat tehnologis yang tentunya mereka sudah pula menjadi mesin. Mereka bukan lagi homo socius, makluk sosial yang saling membutuhkan secara sosial. Mereka itu sama saja dengan dua karung peralatan mekanis yang dijajarkan.